Jangan Pernah Jadi Editor Mabuk!


editor

 

Siapakah yang disebut editor? Dalam bahasa Indonesia ada tiga makna editor. Pertama, editor digunakan untuk menyebut redaktur media cetak (koran, tabloid, majalah, buletin, jurnal). Kedua, editor merujuk pada redaktur penerbitan buku. Ketiga, editor juga digunakan untuk menyebut pengedit (penyunting) film dan program televisi. Pengertian editor akan terus bertambah sesuai dengan pertumbuhan media massa, terutama multimedia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi IV, editor dibedakan menjadi editor bahasa, editor pengelola, dan editor penyelia, dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Editor merupakan kata serapan dari bahasa asing (editus atau editor), sementara padanannya dalam Bahasa Indonesia adalah penyunting. Namun dalam perkembangan, makna editor menjadi lebih luas dibanding penyunting. Editor merupakan bagian dari pekerjaan keeditorialan (keredaksian), yang meliputi penentuan kebijakan pencarian/seleksi naskah, penyuntingan, perwajahan (pengadaan foto dan grafis), serta pencetakan. Sementara, makna penyunting hanya berhubungan dengan pekerjaan penyuntingan bahasa.

Entah seseorang itu bertugas sebagai editor atau hanya sebagai penyunting naskah, dia harus menguasai teknis editing bahasa. Editing bahasa adalah upaya memperbaiki bahasa sebuah naskah hingga menjadi lebih mudah dipahami oleh segmen pembaca yang menjadi target pasar.

Editing berbeda dengan rewriting (penulisan ulang). Editing hanyalah memperbaiki beberapa faktor bahasa, sedangkan rewriting adalah memperbaiki seluruh faktor bahasa berikut sistematika naskah. Salah satu faktor bahasa yang harus sungguh-sungguh dikuasai oleh editor adalah ejaan. Apakah ejaan itu? Ejaan adalah tata cara penulisan huruf, kata, kalimat, tanda baca, pemenggalan, dan penggabungannya dalam suatu bahasa.

Ejaan diperlukan dalam bahasa tulis. Sementara, bahasa lisan tidak memerlukan ejaan. Dalam bahasa lisan, proses komunikasi terbantu oleh warna suara (garang, lemah/lembut); intonasi (keras, pelan); frekuensi (cepat, lambat); mimik pembicara (sedih, gembira); gerak tubuh; dan keseluruhan suasana saat peristiwa bahasa itu dilangsungkan. Dalam ragam bahasa tulis, warna, intonasi, dan frekuensi itu diatur dalam penggunaan ejaan.

Dalam bahasa Indonesia pernah berlaku Ejaan Van Ophuijsen, dari Soempah
Pemoeda sampai tahun 1947 (oe = u); kemudian Ejaan Soewandi tahun 1947 sampai tahun 1972 (tj = c, nj = j dan dj = j); dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD, 1972 s.d. sekarang).

Agar dapat melaksanakan tugas penyuntingan dengan baik, setiap editor harus sungguh-sungguh memahami dan menerapkan EYD. EYD mutlak digunakan dalam penyuntingan naskah, terutama naskah buku-buku serius (ilmiah). Jadi, jika ada seseorang mengatakan bahwa titik-koma (sebagai salah satu bagian penting dari ejaan) tidaklah penting, itu tidak berlaku bagi seorang editor. Seorang editor pertama-tama dan mula-mula harus memahami dengan baik penempatan titik-koma (tanda baca) dalam kalimat, demi menghasilkan karya yang baik dan bermutu serta mudah dipahami oleh pembaca. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika seorang editor, terutama yang bertugas menangani buku-buku ilmiah, menjalankan profesinya tanpa peduli pada tanda baca. Mungkin hal ini bisa dibandingkan dengan seorang pasien yang minum obat yang diresepkan oleh seorang dokter ahli, tetapi tidak mempedulikan aturan minum yang telah ditentukan. Kemungkinan yang bisa muncul dari tindakan ini adalah pasien menjadi mabuk. Maka itu, siapa pun Anda, jangan pernah menjadi editor mabuk agar tidak merepotkan orang lain.

Berbeda halnya dengan naskah fiksi. Dalam naskah buku-buku fiksi, misalnya pada teenlit, kaidah-kaidah formal kebahasaan, termasuk ejaan, boleh saja dilanggar. Namun “pelanggaran” tersebut tentu tetap pada batas-batas yang masih dapat diterima.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *