Kartini: Hidup Abadi karena Menulis


nugra_media_kartini_220416

 

Tanggal 21 April ini kita memperingati hari Kartini, pahlawan perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita. Kartini memiliki pemikiran sangat maju dibandingkan perempuan-perempuan pada zamannya. Kemajuan berpikir Kartini tak dapat dilepaskan dari kebiasaannya menulis, dan tentu saja, membaca.

Kartini mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Namun ia bersekolah hanya sampai umur 12 tahun. Sesudah itu ia dipingit sebagaimana umumnya yang lazim dilakukan terhadap anak perempuan pada masa itu. Ia lalu belajar sendiri di rumah, dengan membaca buku-buku berbahasa Belanda. Ia membaca De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan roman anti-perang karya Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Ia membaca buku karya Van Eeden dan karya Augusta de Witt. Ia juga membaca Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli.

Selain buku, Kartini juga membaca koran, salah satunya surat kabar De Locomotief, terbitan Semarang dan majalah-majalah Eropa. Kartini juga membaca jurnal perempuan De Hollandsche Lelie. Selain itu masih ada majalah-majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat.

Tak sebatas membaca, Kartini senang membuat catatan mengenai apa yang dibacanya. Kartini senang menuliskan ide-ide dan pemikiran-pemikirannya. Beberapa kali tulisannya dimuat di majalah wanita De Hollandsche Lelie.

Dari kegemarannya membaca itulah pemikirannya semakin terbuka. Ditambah lagi dengan diskusinya lewat surat dengan sahabat-sahabat penanya, orang-orang Eropa. Dalam korespondensi dengan teman Belandanya, Estella Zeehandelar, Kartini bercerita tentang banyak hal: tentang penderitaan bangsanya akibat penjajahan, tentang agama, hingga kegalauannya akan pendidikan para wanita. Dengan Stella, Kartini sering berdiskusi mengenai buku yang dibacanya.

Kepada temannya yang lain, Marie Ovink-Soer, sering kali Kartini menceritakan keprihatinannya akan keadaan perempuan Jawa yang dikekang oleh adat. Marie Ovink-Soer inilah yang kemudian memperkenalkan majalah perempuan beraliran feminisme, De Hollandsche Lelie.

Sahabatnya yang lain yang juga sering diajaknya bertukar pikiran dan berkorespondensi adalah Rosa Abendanon. Suami Rosa, J.H. Abendanon adalah Menteri Pendidikan Hindia Belanda.

Terinspirasi oleh kemajuan berpikir wanita Eropa, muncul pulalah keinginannya untuk memajukan perempuan Jawa. Kepada Tuan dan Nyonya Abendanon, Kartini mengemukakan keinginannya akan pendidikan kejuruan bagi para perempuan Jawa. Sungguh suatu pemikiran yang sangat maju kala itu, pemikiran yang membuat Tuan dan Nyonya Abendanon terkejut karena muncul dari seorang perempuan Jawa.

Setelah Kartini meninggal,J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini dan menerbitkannya sebagai buku berjudul Door Duisternis tot Licht (terbit tahun 1911). Berkat buku inilah pemikiran Kartini tersebar ke seantero Belanda. Tulisan-tulisannya yang tertuang dalam buku itu membuka hati banyak orang hingga mereka rela menyumbang dana bagi pembangunan sekolah di Hindia Belanda sebagaimana yang dicita-citakan Kartini.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *