Kode Etik Penyunting (2)


editor-00

 

Tulisan ini adalah bagian 2 mengenai tiga tulisan yang saya kutip dari buku Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia karya Mien A. Rifai yang diterbitkan oleh Gajah Mada University Press, cetakan ke-4, tahun 2004.

Penyunting, menurut Mien A. Rifai, adalah jembatan yang menghubungkan penulis dan pembacanya. Penyunting dapat didefinisikan sebagai orang yang mengatur, memperbaiki, merevisi, mengubah isi, dan gaya naskah orang lain, serta menyesuaikannya dengan suatu pola yang dibakukan untuk kemudian membawanya ke depan umum dalam bentuk terbitan. Untuk memapankan peran dan kedudukan penyunting sebagai agen yang ikut berperan dalam memajukan ilmu dan teknologi, setiap sepak terjang kegiatan penyunting haruslah didasarkan pada pemahaman seperangkat kode etik cara bersikap dan bekerja. Berikut ini adalah kode etik, berbagai sikap dan cara kerja, yang sangat disarankan untuk dipatuhi oleh penyunting dalam menjalankan tugas dan fungsinya:

  • Tujuan utama pekerjaan seorang penyunting adalah mengolah naskah hingga layak terbit sesuai dengan patokan pembakuan yang digariskan dan dipersyaratkan.
  • Penyunting perlu memiliki pikiran terbuka terhadap pendapat baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat yang dianut umum.
  • Penyunting tidak boleh memenangkan pendapatnya sendiri, pendapat temannya atau pendapat penulis yang disenanginya, sehingga tidak akan terjadi pilih kasih berdasarkan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan isi teknis sesuatu naskah.
  • Merupakan tindakan kriminal seorang penyunting untuk mendiamkan suatu naskah atau menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari naskah lalu menerbitkan tulisan serupa atas namanya sendiri, baru kemudian menolaknya.
  • Penyunting harus merahasiakan informasi yang terdapat dalam naskah agar gagasan, pendekatan, metode, hasil penemuan, dan simpulannya tidak sampai disadap orang lain sebelum diterbitkan.
  • Penyunting bekerja dengan disiplin waktu yang ketat dalam mengolah naskah dan menjadwalkan penerbitan agar tidak merugikan orang lain karena adanya prioritas penemuan, kemutakhiran data, kemajuan promosi, dan lain-lain.
  • Penyunting harus jujur pada dirinya sendiri kalau tidak mampu menilai suatu naskah agar tidak memberi petunjuk yang salah pada penulis.
  • Kewenangan besar yang diberikan kepada penyunting untuk menangani dan mempersiapkan naskah untuk diterbitkan semata-mata ditujukan untuk melancarkan arus informasi guna memajukan ilmu dan bukan untuk disalahgunakan demi maksud-maksud lain.
  • Dalam mengolah naskah untuk penerbitan hendaklah selalu diingat bahwa penyunting hanya bertanggung jawab pada bentuk formal penerbitan dan bahwa hanya pengarangnyalah yang bertanggung jawab atas isi dan segala pernyataan dalam setiap tulisan.
  • Kegiatan penyuntingan bersifat anomim dan secara resmi penyunting tidak berhak atas kredit apa pun dari sesuatu karya yang terbit, kecuali hak atas kredit kepenyuntingan keseluruhan terbitan.
  • Penyunting bertindak sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang ia ketahui, sesuai dengan apa yang ia yakini, dan sesuai pula dengan kemampuan yang ia miliki.
  • Penyunting berkewajiban memberi surat tanda tibanya suatu naskah di meja penyunting, yang disusul dengan surat pemberitahuan segera sesudah diputuskan diterima, disarankan diperbaiki, atau ditolaknya naskah tersebut oleh sidang penyunting.
  • Dalam menelaah dan mengevaluasi naskah, penyunting tidak cukup hanya menyatakan, “Naskah ini terlalu panjang” tanpa menunjukkan bagian yang harus dibuang, atau yang perlu ditambah penekanan, perluasan, atau penyulihan.
  • Sekalipun gaya penulis tidak berkenan pada selera penyunting, jika maksud penulis sudah jelas, dan teksnya tidak bertele-tele ataupun samar membingungkan, dan penyajiannya sejalan dengan gaya selingkung berkala, penyunting berkewajiban membiarkan gaya penulis tersebut.
  • Penyunting tidak dibenarkan mengubah karya seorang penulis hanya untuk menyesuaikannya dengan gaya kalimat penyunting semata-mata, sebab perubahan nsakah yang disarankan haruslah merupakan perbaikan nyata dalam ketepatan, kejelasan, dan keringkasan.
  • Penyunting agar selalu ingat bahwa setiap perubahan dan “perbaikan” terhadap naskah akan membuka peluang masuknya kesalahan atau pernyataan keliru yang mungkin tidak dimaksudkan oleh penulisnya.
  • Apa pun yang terjadi, penyunting harus selalu berpihak pada penulis sehingga ia perlu berpanjang pikir dalam bertindak, selalu mewawas diri serta bertepa selira.
  • Setiap kali akan meloloskan suatu naskah, terutama yang meragukan mutunya, penyunting dituntut untuk selalu menanyakan pada dirinya sendiri secara jujur, bersediakah namanya muncul sebagai penulis karangan seperti itu?

Kiranya seperti itulah keberadaan penyunting sebagai penolong penulis untuk berkomunikasi dengan pembacanya, dengan jalan mengupas berbagai segi pengolahan naskah hingga menjadi terbitan.

Sumber: Mien A. Rifai, 2004, Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 85-90.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *